Puntadewa
adalah anak sulung Prabu Pandu Dewanata, seorang Raja Astinapura. yang
lahir dari Dewi Kunthi Talibrata. Dari ibu yang sama ia mempunyai dua
adik laki-laki, yaitu Bimasena dan Harjuna. Sedangkan dari Dewi Madrim
ibu yang lain, Puntadewa mempunyai saudara laki-laki kembar, bernama
Pinten dan Tansen. Kelima anak laki-laki Pandu Dewanata lebih dikenal
dengan sebutan Pandhawa Lima. Selain berayah Pandudewanata, Puntadewa
dikenal juga sebagai anak Dewa pendarma, yang bernama Bathara Dharma.
Pada
umumnya Puntadewa dianggap tokoh baik, berwatak putih suci, berbudi
halus, sabar, berbelas kasih, setia, tidak mau mengecewakan orang lain,
dan tulus ikhlas memberikan kepunyaannya kepada orang lain yang
membutuhkan. Bahkan istrinya sekali pun jika diminta, akan diberikan.
Karena perilaku yang teramat baik itulah, Puntadewa disebut sebagai
manusia sempurna berdarah putih, atau manusia Ajatasatru, artinya
manusia yang tidak mempunyai musuh.
Sebagai
anak sulung, Puntadewa dipersiapkan menjadi raja. Namun sayang, Pandu
Dewanata wafat ketika ke lima anak-anaknya masih kecil, sehingga untuk
sementara negara Astinapura di titipkan kepada kakak Pandu yang bernama
Destarasta, dengan janji bahwa nanti setelah Pandawa dewasa Kerajaan
Astinapura akan diserahkan kepada Puntadewa. Namun janji tersebut tidak
pernah ditepati. Buktinya, setelah Puntadewa dan ke empat adiknya
dewasa, para kurawa yang didalangi Patih Sengkuni mencoba membunuh
mereka dengan cara menjebaknya dalam sebuah rumah dan membakarnya
hidup-hidup. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan “Bale
Sigala-gala.” Setelah tragedi berlalu, diantara puing-puing reruntuhan,
didapatkan enam jenasah yang hangus terbakar, dan itu diyakini bahwa
mereka adalah Kunthi Puntadewa dan ke empat adiknya. Dengan demikian
tahta Hastina sudah aman dari pewarisnya. Maka segeralah Duryudana, anak
sulung Prabu Destarastra naik tahta menjadi Raja Hastinapura.
Beberapa
tahun kemudian, ada berita bahwa Puntadewa, Kunthi dan keempat adiknya
masih hidup dan bahkan saat ini mereka sedang merayakan perkawinan
Puntadewa dengan Dewi Drupadi di Negara Pancala. Agar Para Pandawa tidak
merebut tahta Hastina, Destarastra menyarankan kepada Duryudana untuk
memanggil mereka dan memberikan tanah kepada Puntadewa sebagai pengganti
bumi Hastina. Tanah tersebut berupa hutan yang bernama Wanamarta.
Walaupun merasa diperlakukan tidak adil, dengan ikhlas Puntadewa dan
keempat adiknya melakukan pekerjaan besar, yaitu Babad Alas Wanamarta.
Dikisahkan
bahwa Alas Wanamarta sesungguhnya merupakan sebuah Kraton
“lelembut”yang sangat indah bernama Indraprasta, Prabu Yudistira, adalah
nama rajanya. Ia mempunyai empat adik laki-laki bernama Dandunwacana,
Dananjaya dan saudara kembar Nakula, Sadewa. Di dalam Wayang Kulit
Purwa, Prabu Yudistira dan ke empat adik laki-lakinya bentuknya sulit
dibedakan dengan Pandawa Lima. Prabu Yudistira seperti Puntadewa,
Dandunwacana hampir sama dengan Bimasena, Dananjaya mirip Harjuna,
sedangkan Nakula Sadewa tidak jauh berbeda dengan Pinten dan Tansen.
Ketika
Puntadewa, adik-adiknya dan didukung para kawula berkumpul di hutan
untuk memulai membabat hutan Wanamarta, Prabu Yudistira dan adik-adiknya
merasa terusik, mereka marah dan ingin menggagalkan babad Alas
Wanamarta. Namun niat itu diketahui oleh Harjuna, karena ia mempunyai
pusaka ‘Lenga Jayeng Katon’ yang jika dioleskan di mata dapat melihat
para makhluk halus. Maka terjadilah peperangan antara Pandawa dan para
penguasa Kerajaan Indraprasta.
Pada akhirnya, Prabu Yudistira dapat ditundukan. Kerajaan
Indraprasta diserahkan kepada Puntadewa. Jiwa Prabu Yudistira masuk ke
dalam jiwa Puntadewa, diikuti oleh jiwa Dandunwacana bersatu dengan
Bimasena, Dananjaya bersatu dengan Harjuna, si kembar Nakula dan Sadewa
menyatu dengan si kembar Pinten dan Tansen.
Setelah
peristiwa itu, keajaiban terjadi. Alas lebat Wanamarta berubah menjadi
keraton megah dan indah, dengan nama Indraprasta. Puntadewa diangkat
menjadi Raja dengan gelar Prabu Yudistira. Demikian juga Bimasena
disebut juga Dandunwacana, Harjuna disebut Dananjaya, dan Pinten, Tansen
disebut juga Nakula, Sadewa.
Sebagai
ucapan syukur atas keberhasilan mendirikan Keraton Indraprasta yang
besar dan sangat indah, jauh melebihi Negara Astinapura, Prabu Yudistira
mengadakan upacara sesaji yang dinamakan Sesaji Raja Suya. Pada upacara
tersebut, Prabu Yudistira mengundang Raja-raja dari seribu negara,
termasuk Raja Astina Prabu Duryudana. Pada Upacara Sesaji Raja Suya,
nampaklah kebesaran Prabu Yudistira yang dielu-elukan raja dari seribu
negara dan juga kemegahan dan keindahan negara Indraprasta. Tentu saja
Prabu Duryudana menjadi iri. Di dalangi oleh Patih Sengkuni, Prabu
Duryudana ingin merebut Negara Indraprasta. Maka disusunlah siasat
licik. Prabu Duryudana mengundang Puntadewa untuk bermain dadu dalam
sebuah acara pesta. Pada puncak permainan dadu, Puntadewa mempertaruhkan
negara Indraprasta beserta isinya, dan kalah. Akibatnya Puntadewa dan
adik-adiknya, juga kawula Indraprasta terusir dari keraton. Mereka
dibuang ke hutan dan hidup sengsara selama 13 tahun.
PUNTADEWA
watak putih yang meraja
watak putih yang meraja
Kekalahan
atas permaian dadu dianggap sebagai salah satu sikap Puntadewa yang
tidak bisa menolak ajakan Duryudana, karena hal itu akan mengecewakan
saudara tua. Demikian juga, ketika Sri Kresna menyuruh Puntadewa untuk
bersaksi dusta kepada Resi Druna bahwa Aswatama anak Druna telah tewas,
pada hal yang terbunuh bukan Aswatama tetapi Estitama nama seekor gajah.
Peristiwa lain, ketika perang Bharata Yuda, Puntadewa yang selama
hidupnya belum pernah berperang, tidak kuasa menolak perintah Sri
Kresna, untuk berperang melawan Prabu Salya. Darah putih yang mengalir
dalam diri Puntadewa, membuat ajian Prabu Salya, Candrabirawa tak
berdaya. Akhirnya Prabu Salya gugur di tangan Puntadewa.
Tiga
peristiwa penting yang dialami Puntadewa, dicatat sebagai dosa-dosa
Puntadewa, atau sejarah tragedi yang membawa korban. Namun mengingat
catatan panjang kebaikan Puntadewa, tragedi-tragedi tersebut diterima
sebagai akibat dari sebuah konflik batin seseorang untuk mempertahankan
kesucian dan rasa belaskasih tanpa pamrih, dan juga sebagai panggilan
darma dari seorang anak Bathara Dharma.
Konflik
batin yang dialami Puntadewa, juga dialami setiap manusia. Di dalam
batin seseorang atau disebut juga ‘jagad cilik’atau micro cosmos,
konflik itu selalu terjadi. Dampak dari konflik tersebut akan
mempengaruhi ’jagad gedhe’ atau macro cosmos.
Di
dalam kitab Centhini jilid I, bab (pupuh) 75-77. dipaparkan sebuah
illustrasi konflik batin manusia, dengan penggamabaran ‘Gedhong catur
candhelanya tunggil,’ empat rumah dengan satu pintu. Masing-masing rumah
dihuni oleh seorang raja. Walaupun keempat raja tersebut bersaudara,
mereka mempunyai watak, karakter dan kesenangan yang berbeda-beda. Raja
Mutmainah, bercahaya putih, adalah raja yang berwatak sabar, welas asih
tulus dan suci. Raja Amarah, bercahaya merah, berwatak serakah dan
‘panasten.’ Raja Aluamah, berwarna hitam, mempunyai kesenangan makan
yang berlebihan sehingga menjadi pelupa. Raja Supiyah, raja wanita,
bercahaya kuning, senang pada keindahan, sikapnya selalu berubah, tidak
dapat menepati janji. Dalam bab tersebut dituliskan bahwa Raja Aluamah,
Raja Amarah dan Raja Supiyah dengan bala tentaranya bersatu untuk
memerangi Raja Mutmainah. Perang besar yang memakan banyak korban
terjadi. Raja Mutmainah berhasil meringkus ke tiga Raja dan memasukan ke
dalam penjara. Mereka diberi makan untuk hidup, namun tidak boleh
mencampuri kebijaksanaan Raja Mutmainah. Pintu satu-satunya yang
terdapat dalam empat rumah dikuasai sepenuhnya oleh Raja Mutmainah.
Sebuah
gambaran menarik untuk direfleksikan ke dalam batin manusia dalam
wilayah jagad cilik, yang memberi kontribusi pada wilayah kehidupan
jagad gedhe. Jika pada akhir sebuah konflik yang menang dan berkuasa
adalah Raja Mutmainah, maka yang memancar keluar adalah cahaya putih,
berwatak suci, welas asih, sabar dan tulus. Rupa-rupanya karakter itulah
yang digambarkan pada sosok Puntadewa. Ketika para Pandawa Lima
mengangkat Puntadewa sebagai raja, maka komitmennya adalah, bahwa apapun
kebijaksanaan Raja, saudara-saudara lainnya mendukung, dan bahkan ikut
menanggung akibat dari sebuah kebijaksanaan tersebut. Puntadewa sebagai
jagad cilik, telah tiga kali menyelesaikan konflikyang tergolong besar
dan dengan ikhlas, ia mau menanggung akibatnya. Namun karena ia tidak
sendirian, ia adalah Raja negara besar Indraprasta, dalam wilayah jagad
gedhe, maka orang-orang terdekat dan juga rakyat Indraprasta ikut
menanggung dan bahkan menjadi korban kebijaksanaan Puntadewa.
Itulah
Puntadewa. Ia menjadi tokoh yang dilematis. Kebaikan yang berlebihan
dianggap sebagai wujud lain dari watak yang selalu memikirkan diri
sendiri. Di dalam benaknya, hanya ada sebuah pemikiran, bagaimana
caranya untuk bertahan dalam kesetiaan. Ia memang setia kepada panggilan
dharma. Tetapi apakah dengan demikian ia juga setia dalam kedudukkannya
sebagai pengayom? setia sebagai raja?
Pada
akhir hidupnya, Puntadewa dan keempat adiknya mendaki alam keabadian
yang disimbolkan Gunung Mahameru. Satu persatu keempat adiknya jatuh dan
tidak dapat melanjutkan perjalanan. Mulai dari Sadewa, Nakula, disusul
Harjuna dan kemudian Bimasena. Pada akhirnya, ketika sampai di sebuah
Gapura nan indah, tinggalah Putadewa seorang diikuti oleh anjing
kesayangannya. Puntadewa berniat memasuki pintu tersebut, namun penjaga
gerbang tidak memperbolehkan anjingnya ikut masuk. Puntadewa besikeras
untuk membawa anjingnya, karena baginya anjing tersebut telah berjasa
memberi petunjuk jalan. Oleh karenanya, menjadi tidak adil jika
anjingnya tidak diperbolehkan masuk. Ketegangan diantara keduanya
terjadi. Pada saat itulah, anjing tersebut berubah wujud menjadi Batara
Dharma, ayah Puntadewa.
Peristiwa
itu merupakan gambaran sebuah pendadaran kesetiaan yang terakhir bagi
Puntadewa. Batara Dharma tersenyum puas, selama mendampingi anaknya, ia
merasakan bahwa Puntadewa selalu berhasil dalam memerangi musuh batin
yang menghalangi panggilan darma. Sebagai upah di akhir hidupnya, Batara
Dharma menggandheng Puntadewa melangkah masuk di surga keabadian.)
PUNTADEWA MASUK NERAKA?
Dalam
Gandhengan Batara Dharma, Puntadewa mengikuti langkah sang penjaga
gerbang yang tak lain adalah Batara Indra. Mereka berjalan melalui
padang rumput hijau segar dipenuhi taman aneka bunga nan asri. Tak
beberapa lama sampailah mereka di sebuah pintu gerbang, berukir indah,
memancarkan cahaya berkilau. Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan
sendirinya, tanpa mengalami kesulitan Puntadewa masuk ke dalamnya.
“Betapa indahnya surga, lebih indah dari yang aku dibayangkan. Belum pernah aku merasakan kebahagiaan seperti saat ini.”
Oleh
karena kepenuhan kebahagiaan yang sempurna, Maka tidaklah mengherankan,
decak kagum dan pujian penuh syukur hampir tak pernah berhenti terucap
dari mulut Puntadewa. Pada saat yang membahagiaakn itu, Puntadewa
teringat keempat adiknya, teringat akan sumpahnya untuk bersama-sama
merasakan pahit manisnya kehidupan. Maka dicarinya keempat adiknya
diantara orang-orang yang ada, namun tidak diketemukan.
Tiba-tiba
mata Puntadewa terbelaklah melihat beberapa orang yang sedang melintas
di depannya. Benarkah itu Duryudana, Dursasana dan para Kurawa lainnya.
Mengapa mereka yang berperilaku tidak terpuji berada ditempat ini.
Benarkah tempat ini adalah surga kebahagiaan nan abadi? Jika benar,
mengapa masih ada perasaan tidak mengenakan, sehingga mengurangi
kebahagiaanku. Perasaanku mengatakan, bahwa tempat ini bukan surga yang
sebenarnya. Ada surga sejati yang abadi, surga kebahagiaan kekal dan tak
berubah-ubah. Pasti keempat adikku berada di sana. Aku akan menyusul
mereka.
“Jangan lakukan itu, Puntadewa”
“Mengapa Hyang Indra”
“Tempatmu di sini Puntadewa. Di surga.”
“Berada disurga bersama Para Kurawa?”
“Itu adalah urusan Hyang Padha Wenang.”
“Aku
mengerti Hyang Indra. Bukankah surga adalah wujud kelimpahan rahmat
yang dianugerahkan ketika manusia telah ‘menyelesaikan’ tugasnya sesuai
dengan panggilan dharma.”
“Itu Benar Puntadewa, dan engkau telah mendapatkan surga itu. Tetapi mengapa rahmat itu akan kau tinggalkan.?”
“Itu Benar Puntadewa, dan engkau telah mendapatkan surga itu. Tetapi mengapa rahmat itu akan kau tinggalkan.?”
“Aku ingin setia akan sumpahku, seperti halnya aku setia akan panggilan darma.”
“Tetapi Puntadewa, engkau tidak boleh menemui keempat adikmu”
“Mengapa Hyang Indra”
“Mereka ada di Neraka.”
“Di Neraka!”
Puntadewa
tersentak hatinya. Ia tidak dapat membayangkan betapa sakit dan
sengsara keempat adiknya. Tanpa berpikir panjang, Puntadewa bergegas
meninggalkan surga. menuju neraka, tempat adik-adiknya berada. Karena
belum tahu jalannya, Puntadewa memohon kepada Hyang Darma menjadi
penunjuk jalan. Dalam sekejab, mereka telah sampai di jalan setapak,
dengan jurang menganga di kanan-kiri. Di jurang-jurang itulah tampaklah
pemandangan yang mengenaskan dan mengerikan. Banyak orang terpanggang
dalamkobaran nyala api abadi. Mereka menggeliat kesakitan tanpa dapat
berbuat sesuatu. Ketika Puntadewa dan Bhatara Dharma lewat di jalan
setapak itu, mereka berebut minta tolong dengan tangan terjulur, agar
dientaskan dari jurang yang dipenuhi nyala api abadi.
Puntadewa
tidak dapat membendung air matanya, tatkala melihat diantara kerumunan
orang-orang yang minta tolong tersebut terdapat Bimasena, Harjuna,
Nakula dan Sadewa. Nalurinya sebagai saudara tua terusik, Puntadewa
menjulurkan tangannya hendak menolong keempat adiknya. Namun niat itu
tidak pernah kesampaian. Jurang itu berada jauh di bawah dari jangkauan
tangannya. Niat Puntadewa telah bulat, ia ingin berada diantara keempat
adiknya. Maka kemudian ia meloncat turun di jurang api abadi. Api
neraka. Apa yang dilakukan merupakan wujud kesetiaan abadi. Kesetiaan
yang senantiasa dipelihara, diperjuangkan dan bahkan membutuhkan
pengorbanan. Dan Puntadewa percaya, dalam kesetiaan yang demikian, ia
tetap selalu ada di garis rahmatNya, walupun harus dibakar oleh panasnya
api.
Melihat
kejadian itu, Batara Indra dan Batara Darma kebingungan. Mereka tidak
tahu apa yang mesti dilakukan. Tugas mereka adalah untuk mengantar
Puntadewa ke dalam Surga. Tetapi yang terjadi kemudian bahwa Puntadewa
memaksakan diri masuk ke neraka. Maka segera mereka menghadap Hyang Pada
Wenang, melaporkan apa yang telah terjadi.
“Ampun
Hyang Pada Wenang, kami berdua siap menerima murkaMu, karena tidak
dapat mencegah ketika Puntadewa meloncat ke api neraka.”
“Aku
tidak akan murka. Itu semua memang berada dalam rencanaku. Aku
sendirilah yang telah mengujinya. Dan ia telah selesai dan lulus.
Puntadewa sungguh ‘manusia sempurna,’. Surga Abadi Aku anugerahkan
kepadanya.”
Bersamaan dengan Sabda Hyang Pada Wenang, tempat di mana Puntadewa berada berubah menjadi Surga Abadi. Semua
bersorak penuh syukur. Puntadewa telah menyelamatkan banyak orang.
Dalam waktu yang bersamaan, tempat di mana Duryudana berada, berubah
menjadi Lautan Api Abadi. Semua orang berteriak kepanasan. Duryudana telah menyengsarakan banyak orang.
Sumber : http://www.tembi.org/
Comments
Post a Comment